Semester-an: Saatnya ‘Memamerkan Proyek’

Bulan Juni menjadi salah satu bulan yang begitu padat untuk siswa. Bagaimana tidak?,

mereka menghadapi evaluasi belajar akhir semester, atau Ulangan Kenaikan. Jadwal les semakin

padat demi ‘memantapkan’ materi belajar yang dirasa belum mampu dikuasai di kelas. Untuk siswa yang belum muncul kemauan belajar, maka malam harinya ia akan maraton belajar untuk materi esok hari. Begitu ulangan kenaikan berakhir, anak-anak sangat bahagia. Yes, akhirnya belajarnya selesai. Hal inilah yang menjadikan anak-anak hanya memenuhi kewajiban untuk mengerjakan soal ulangan kenaikan. Seolah rasa bahagia itu hilang saat tiba semester-an.

Anak-anak School of Life Lebah Putih biasanya akan menyambut bahagia datangnya

semester-an. Kegiatan itu dikenal dengan semester ceria. Begitu jadwal semester ceria diumumkan, respon mereka langsung berteriak girang, “yes”. Karena memang tujuannya adalah bagaimana membuat evaluasi belajar yang membuat anak-anak behagia. Kali ini kegiatan semester ceria mengambil tema “inside out”. Anak-anak membuat proyek besar untuk memunculkan potensinya.

Dalam satu kelas anak-anak membuat proyek yang sama, yang membedakannya dalam melihat

potensi anak adalah bagaimana anak tersebut menerima dan mengelola informasi yang diberikan

oleh fasilitator. Misalnya, untuk anak-anak dengan potensi kecerdasan kinestek, maka mereka akan sangat antusias saat kegiatan ice breaking sebelum dimulainya semester ceria.

Hasil kegiatan semester ceria anak-anak setiap kelas beragam. Ada yang membuat kuis

bersama di kelas, membuat tangram, mengecat celengan, membuat cerita bergambar, percobaan

alat penyaringan air dan berkreasi dengan barang bekas. Dan, untuk kelas tinggi mencoba membuat video dengan konten pembelajaran. Ada yang membuat video tentang perubahan gerak benda dan video perkenalan diri menggunakan Basa Jawa dan Bahasa Inggris. Setiap proyek yang dilakukan oleh siswa, fasilitator akan memberikan evaluasi terhadap proyek tersebut. Ada yang menarik saat siswa Stratus mengecat celengan. Fasilitator memang menyediakan cat yang terbatas warnanya. Maka, ketika anak-anak membutuhkan warna yang dak tersedia, misalnya coklat, anak-anak yang memiliki creative imagination tinggi langsung menyarankan temannya untuk mencampur warna. Logika berfikir anak-anak semakin terasah dengan adanya kegiatan eksplorasi ini. Saat siswa Alto Stratus membuat video tentang perubahan energi, begitu terlihat anak-anak yang memiliki kecerdasan bahasa. Fokus utama fasilitator dalam melakukan penilian bukan pada konten video tersebut, tetapi bagaimana caranya anak-anak mau mencoba dan melakukan tanggung jawabnya dengan baik.

Selama tiga hari anak-anak berkutat dengan proyeknya masing-masing. Puncak dari kegiatan

tersebut, anak-anak mengikuti kegiatan pameran proyek siswa. Mereka saling belajar dengan kelas lain mengenai keunikan proyek-proyek mereka. Hasil karya siswa benar-benar mendapat apresiasi

secara langsung maupun tidak langsung dari peserta pameran tersebut. Kepercayaan diri anak-anak semakin terasah karena mereka bisa melakukannya dan persentasi dengan seluruh siswa sekolah.

Saat anak-anak bebas mengeskpresikan apa yang menajdi keinginan dan kesenangannya, maka ia akan mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Seperti misalnya, saat salah satu siswa Alto Cumulus suka terhadap utak atik barang, maka ia mampu membuat kipas sederhana dengan memanfaatkan barang bekas dan dinamo. Saat anak-anak kelas atas, Nimbo Stratus dan Cirrus sudah mulai terbentuk kerangka berfikirnya, maka mereka membuat proyek video untuk kegiatan belajar. Anak-anak belajar caranya memanfaatkan teknologi secara bijak. Masa-masa mereka adalah mencoba segala aktivitas untuk menemukan apa yang menjadi kesenangannya sesuai fitrahnya.