Parenting dengan Parents Camp
- Septi Peni Wulandani
- Jul 11, 2017
- 3 min read

Sekolah merupakan mitra bagi orangtua dalam berproses mendidik anak-anak. Perannya sebagai mitra, maka tidak bisa hanya salah satu pihak yang memiliki komitmen. Maka harus keduanya, sekolah dan orangtua saling membentuk komitmen di awal proses belajar anak. Komitmen saja belum cukup, maka sekolah dan orangtua perlu untuk menyamakan visi dalam proses mendidik anak. Sehingga, muncullah kegiatan parenting yang dilakukan oleh sekolah untuk menyelaraskan visi dalam mendidik anak. Antusiasme untuk belajar mengenai ilmu mendidik anak tidak hanya dari para ibu, para ayah pun begitu penasaran seperti apa mendidik anak yang sesuai dengan fitrah anak. Karena memang, mendidik anak tidak bisa hanya setengah-setengah atau sekadar 'dititipkan' pada lembaga sekolah, tetapi harus sepenuh hati dan tahu akan ilmunya.

Parenting yang dilakukan oleh School of Life Lebah Putih dikemas dalam kegiatan parents camp. Maka, orangtua dan sekolah saling menyelaraskan visi dalam mendidik anak yang dilakukan selama dua hari dengan berkemah bersama sebelum dimulainya tahun ajaran baru. Sehingga, atmosfer belajar anak selama di sekolah maupun di rumah bisa selaras. Pasti terbayang di benak anda bagaimana hebohnya para orangtua ini mengikuti kemah bersama, saling berdiskusi, berbagi ilmu baru, dan menjalin keakraban dengan kemah bersama.

Ada banyak hal yang dilakukan selama kegiatan tersebut. Orangtua dikenalkan seperti apa kegiatan belajar maupun program-program penting di sekolah. Serta, mengenal berbagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh komite sekolah. Kegiatan semakin menarik ketika founder School of Life Lebah Putih, Septi Peni Wulandani dan Dodik Maryanto, berbagi ilmunya mengenai bagaimana cara dan tahapan mendidik anak sesuai dengan fitrah anak. Inilah yang menjadi kurikulum sekolah yang mencoba untuk mendidik sesuai dengan fitrah anak. Anak-anak terus dipancing rasa ingin tahunya atau kami menyebutnya dengan zona intellectual curriuosity (zona IC). Tugas orangtualah bersabar dan tidak mematikan rasa ingin tahu anak. Kadang, rasa ingin tahu anak menjadi mati karena orangtua merasa risih saat anak mulai menanyakan berbagai hal yang dijumpainya.

Sejatinya anak-anak itu menyukai belajar, kadang orangtualah yang justru membuat anak tidak suka belajar. Sehingga, saat menemani belajar atau menjelaskan suatu hal yang terjadi justru adu mulut antara anak dan orangtua. Maka, pada sesi kegiatan ini berdiskusi mengenai bagaimana orangtua mendidik anak bukan pada zamannya, melainkan pada zaman anak-anak itu. Sehingga, tidak bisa dipaksakan seorang anak bisa menjadi sama seperti keinginan orangtuanya, bukan muncul dari keinginan anak. Cara dan semangat belajar yang ditularkan kepada anak tentulah berbeda, karena anak-anak itu tumbuh pada zamannya. Strategi belajarnya juga berbeda, meninggikan gunung bukan meratakan lembah. Kata kuncinya adalah, dont teach me, I love to learn. Dan, anak-anak bisa belajar dimana saja, kapan saja, dengan siapa saja yang memiliki pengetahuan mumpuni pada bidangnya atau keahliannya masing-masing.

Ketika rasa ingin tahu anak semakin tinggi, maka yang perlu dikembangkan selanjutnya adalah daya berfikir imajinasi anak. Sejatinya, anak-anak itu memiliki daya imajinasi yang tinggi. Maka, tidak heran ketika kadang imajinasi mereka di luar jangkauan berfikir orang dewasa. Maka, anak-anak akan belajar pada zona creative imagination (zona CI). Anak-anak bebas mencorat-coret, menggambar sesuka mereka pada lantai yang memang telah disediakan. Anak-anak juga boleh mengecat tembok belakang sekolah untuk mengekspresikan imajinasi mereka. Begitu imajinasi anak terus berkembang, maka mereka akan mencoba menemukan hal baru. Mereka belajar pada zona art of discovery and invention (zona AD). Maka, anak-anak akan memperoleh projek dari sekolah yang memang dikerjakan bersama dengan orangtua. Selama proses belajar tersebut, penanaman akhlak sangat mendasar untuk diajarkan kepada anak. Inilah noble atitude (zona NA). Bagaimana anak-anak akan menyikapi apa yang ia peroleh dengan cara menerapkannya dalam berinteraksi sosial dengan lingkungannya.

Saat yang ditunggu-tunggu dalam setiap kegiatan kemah adalah ber-api unggun bersama. Kali ini, orangtua dan fasilitator duduk bersama di halaman sekolah di bawah terangnya sinar purnama. Ngobrol santai mengenai pendidikan anak dan berakrab-akraban sesama orangtua maupun fasilitator
semakin menambah hangat suasana malam itu. Esoknya, kegiatan ditutup dengan games yang sangat seru yang mengandalkan kerjasama dan kekompakan tim. Setiap kegiatan parents camp selalu menarik dan berkesan bagi setiap peserta. Ada hal baru yang dipelajari dan terbentuk komitmen kuat antara sekolah dan orangtua. Karena, sebelum mendidik anaknya, sekolah perlu mendidik orangtuanya terlebih dahulu. Sebelum anaknya merasakan masa orientasi sekolah, maka orangtualah yang terlebih dahulu melakukan masa orientasi orangtua siswa.
Comments